Sabtu, 29 November 2008

TUJUH LAPIS LANGIT DAN TUJUH LAPIS BUMI DALAM MENUJU ALLAH

Perjuangan menuju Allah adalah perjuangan maha dahsyat yang hanya mungkin dilakukan oleh pejuang-pejuang tangguh yang tak kenal menyerah. Dikatakan perjuangan maha dahsyat karena Allah bukanlah Tuhan statis yang membiarkan diri-Nya mudah ditemukan. Allah senantiasa membentangkan hijab berlapis-lapis dan berbagai halangan untuk menyelubungi keberadaan diri-Nya. Sekalipun para pencari-Nya mengetahui bahwa Dia adalah Inti dari segala sesuatu dari ciptaan-Nya, baik yang dapat ditangkap pancaindera maupun yang ghaib, untuk menemukan-Nya bukanlah persoalan sederhana.

Hijab-hijab tersebut sebagai ujian dan seleksi hamba-hamba-Nya, sehingga Dia yakin bahwa hanya yang berkualitaslah yang mampu mencapai-Nya. Hamba yang punya stamina tinggi dalam jihad, ibadah dan mua’amalah yang akan mampu menggapai Dia. Insya Allah.

Secara metaforik, hijab-hijab ruhani dalam mencapai Dia dapat diungkapkan seperti berikut : tujuh samudera, tujuh gunung, tujuh lembah, tujuh jurang, tujuh gurun, tujuh rimba, dan tujuh benteng. Sekalipun terdengar begitu sulit dan secara akal sulit dilampaui manusia, ungkapan itu lebih ditujukan pada gambaran suasana ruhaniah manusia, sehingga ungkapan itu tidak perlu sulit untuk dimaknai dan diresapi esensinya. Namun, tidak semua orang berani menanggung akibat dari usaha melintasi tujuh hijab tersebut.

Hijab pertama atau tantangan pertama adalah Tujuh Lembah Kasal (Kemalasan) yang berhawa sejuk, ditumbuhi rumput hijau, taman-taman bunga, pohon kemenyan dan gaharu yang menebar wangi, sungai, danau, dan burung aneka warna yang merdu bernyanyi. Di lembah ini, para pencari lebih suka menenggelamkan diri dalam kemalasan naluri manusiawinya daripada bersusah-susah beribadah kepada-Nya.

Tantangan kedua yang tak kalah dahsyat adalah Tujuh Jurang Futur yang menganga siap menelan siapa saja yang jatuh ke dalamnya. Siapa pun yang melihat ke dasar jurang tanpa dasar itu lazimnya akan menjadi lemah pendirian dan runtuh tekadnya untuk meneruskan perjalanan. Bagi para pencari yang masih kuat terpengaruh kehidupan duniawi, Tujuh Jurang Futur itu sangatlah menakutkan sehingga mereka lebih suka tidak melanjutkan perjalanan daripada melintasinya dengan risiko tak pernah kembali. Kebimbangan selalu mencekam siapa saja yang mencari-Nya ketika harus melewati tujuh jurang ini.

Ketiga yang juga tak kalah dahsyat dan butuh perjuangan khusus, adalah Tujuh Gurun Malal (Kejenuhan), berupa hamparan pasir dan bebatuan yang membosankan. Di tengah perjalanan, para pencari sering dirayapi rasa bosan. Mereka enggan melanjutkan perjalanan, padahal tujuannya masih jauh. Tidak sedikit yang kemudian menggerutu, “Saya sudah berjalan sangat jauh dan mengulang-mengulang ibadah yang itu-itu juga, namun tujuan saya tetap belum tercapai.”

Tantangan keempat berupa Tujuh Gunung Riya’ yang sering menggelincirkan para pencari yang berusaha mendakinya. Para pencari yang mendaki Tujuh Gunung Riya’ dengan puncaknya yang tinggi dan selalu diselimuti awan itu cenderung memamerkan kemampuan mereka. Diatas puncak Gunung Riya’, para pencari lupa pada apa yang mereka cari. Mereka terjebak pada kebanggaan dan memamerkan kemampuan. Kehebatan,kegagahan, kebaranian dan kesalehan diri sendiri. Bahkan tak kurang banyak yang terperangkap pada pamrih sehingga tujuan mereka tidak lagi menuju Allah, tetapi ke syurga “yang lain dari Allah”.

Tantangan kelima adalah Tujuh Rimba Sum’ah yang berisi raungan serigala, auman harimau, kicauan burung, lenguh banteng, dan bunyi bambu yang berderak ditiup angin. Di rimba ini, para pencari sering meniru perilaku hewan yang gemar memperdengarkan suaranya. Para pencari suka menceritakan berbagai amaliah ibadah yang mereka lakukan, dengan tujuan orang menyanjung dan memuji mereka. Bahkan sering terjadi, para pencari benar-benar terperangkap pada suasana rimba raya sehingga mereka menjelma menjadi hewan yang suka mengaum, melenguh, melolong, dan berkicau untuk memamerkan kehebatan dirinya.

Tantangan keenam yang sulit diseberangi adalah Tujuh Samudera ‘Ujub yang bergelombang dahsyat dengan ombak bergemuruh menerpa pantai dan batu karang. Di samudera ini, para pencari gampang terpengaruh oleh keberadaan samudera yang bangga akan kedahsyatan ombaknya yang kuat dan tinggi mencakar langit. Di dalam hati mereka muncul kebanggan dan puja-puji terhadap diri sendiri karena merasa amalnya telah banyak. Mereka tak pernah menduga bahwa saat rasa bangga diri bagai samudera itu mencuat maka yang terjadi adalah makna perjuangan ibadah mereka hilang, ibarat buih ombak di hamparan pasir pantai.

Tantangan ketujuh yang sulit ditaklukan adalah Tujuh Benteng Hajbun yang berdinding tinggi dengan tembok kokoh dihiasi ukiran-ukiran dan hiasan-hiasan indah. Benteng-benteng itu dihuni oleh warga yang hidup dalam kemakmuran dan kelimpahan rezeki. Para pencari yang melintasi ketujuh benteng ini biasanya terpesona dengan keindahan arsitektur dan kemakmuran para penghuninya. Para pencari yang terpesona ini jarang terjebak mengaku bahwa benteng-benteng itu adalah miliknya dan merekalah yang membangunnya.

Para pencari yang demikian tak menyadari bahwa saat mereka mengakui keindahan amaliah ibadahnya maka saat itu pula benteng-benteng itu menjadi pasir yang luruh tertiup angin.


Dikutip dari Suluk Abdul Jalil

Perjalanan Ruhani Syeikh Siti Jenar

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Terimakasih atas penjelasannya.