Sabtu, 29 November 2008

SEBAB JATUH BANGUNNYA SUATU BANGSA

Setiap agama biasanya membahas sebab-sebab kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat. Pandangan suatu agama mengenai faktor-faktor utama kemajuan dan kemunduran suatu komunitas, menunjukkan pendekatannya terhadap masyarakat dan gerakannya dalam memperbaharui tatanan tersebut.

Al-Qur’an memiliki beberapa pandangan, misalnya mengenai sebab menyelewengnya suatu bangsa sebagai akibat dari ketaatan terhadap abaa’uhum (bapak-bapak mereka), yang dapat dimaknai sebagai pemimpin, nenek moyang, pembesar-pembesar maupun tokoh-tokohnya. Kalangan elit sosial tersebut diklaim memproduksi ketimpangan, feodalisme, ketaatan buta, fanatisme dan kultus individu yang pada akhirnya menyelewengkan rakyat dari penghambaan hanya kepada Allah.

Namun, Al-Qur'an secara keseluruhan, menyebut masing-masing empat faktor yang mempengaruhi jatuh bangunnya suatu masyarakat. Secara singkat pada kesempatan ini akan dibahas masing-masing faktor tersebut.

Keadilan atau Kedzaliman.

“Sungguh, Fir’aun telah meninggikan dirinya di bumi dan menjadikan penduduk negerinya berkasta-kasta, dengan menindas satu golongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sungguh, ia termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Qs. Al-Qashash (28) : 4)

Ayat ini pada awalnya menggambarkan nafsu Fir’aun yang memperlakukan rakyatnya sebagai sapi perahan, bersikap diskriminatif dan otoriter. Al-Qur'an menyebutnya sebagai mufsid (pembuat kerusakan) dimaksudkan sebagai kutukan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya sebagai pemegang kekuasaan.

Meski Fir’aun telah ditenggelamkan di laut Merah, tidak berarti semangat dan perilaku firaunis lenyap begitu saja. Di Indonesia, meski secara formal Orde Baru telah dijatuhkan, kenyataannya bangsa ini masih dibawah cengkeraman manusia bermental firaunis. Kebijakan-kebijakan yang tidak berfihak pada rakyat, kenaikan harga BBM dan bahan pokok, bebasnya para konglomerat hitam, KKN yang semakin merajalela, diterimanya kasasi Akbar Tandjung, menunjukkan keadilan masih jauh dari jangkauan.

Perilaku firaunis menalar tidak saja pada tingkat elit politik, tetapi diderita pula oleh kita kalangan wong cilik. Disadari atau tidak, kita pun kerap bersikap firaunistik. Ketika supir berlaku seenaknya di jalan, tukang ojeg me-mark-up ongkos terhadap penumpang yang diyakini orang baru, pedagang di pasar yang memanipulasi timbangan, polisi yang menerima salam kepal dari sopir-sopir, birokrat yang mengutip uang administrasi, hakim yang hobi disuap, atau lainnya, membuktikan kedzaliman telah menjadi bahasa pergaulan sehari-hari masyarakat. Kita seringkali tidak proporsional ketika mengkritik habis elit politik yang korup, padahal saat yang sama kita menjiplak perilaku orang yang kita kritik. Kita pun menjelma menjadi Fir’aun di rumah, sekolah, kantor, masjid, pasar, hutan, laut, dan sebagainya.


Kedudukan hari ini ditentukan sejauhmana ia memiliki kekayaan dan kuasa. Ironisnya kita berbangga hati dengan semua itu.Seorang caleg berani menghabiskan uang puluhan juta demi nomor urut dan membeli ijazah palsu, pesakitan berani menyumpal mulut hakim agar kasusnya dimenangkan di pengadilan, kita pun biasa membayar puluhan juta agar dapat diterima jadi PNS, hutan digunduli atas nama pembangunan, laut dan sungai dicemari, sumber daya alam (emas, minyak dan lain-lain) dikuasai asing, hingga pesta pernikahan yang menghabiskan banyak uang untuk sewa gedung, dekorasi, pakaian, dan katering. Padahal masih banyak yang kesulitan secara ekonomi, tidak bisa makan, dan menganggur. Bukankah ini pun sebuah kedzaliman ?


Persatuan atau Perpecahan.

Surat Ali-Imran ayat 103, memberikan suatu perintah jelas untuk bersatu di atas dasar aqidah, serta melarang perpecahan. Dalam ayat berikutnya (Qs. 3 : 105), kita diminta untuk tidak meniru perilaku para pendahulu (kaum Yahudi dan Nasrani) yang saling berselisih dan berpecah-belah dengan diakhiri peringatan adzab jika tidak mengindahkannya.


Saat ini, persaingan antar kelompok kepentingan begitu kentara, parpol, organisasi, tokoh, bahkan jama’ah-jama’ah saling klaim dan memonopoli kebenaran. Menuduh yang di luar kelompoknya sebagai a-reformis, status quo, kafir, bid’ah atau sesat. Budaya buruk sangka lebih berkembang daripada dialog dan toleransi. Akibatnya intrik, saling sikut mewarnai perkembangan masing-masing kelompok untuk memenangkan ambisinya.


Friksi antar kelompok ini harus segera dituntaskan. Sebelum kekuatan semakin melemah dan permusuhan kian menguat. Kehendak untuk berdialog, taffahum dan membangun sinergi seyogyianya lebih dikedepankan daripada menuduh kesana kemari. Sekian generasi dan waktu, energi kita dihabiskan hanya untuk mensesatkan orang atau kelompok yang berbeda pemikiran dan garis politiknya dengan kita. Jelas hal ini sebuah kesia-siaan.

“....janganlah kamu saling berselisih, sebab kamu akan menjadi lemah dan kehilangan kekuatan...” (Qs. Al-Anfaal : 46)

Perbedaan yang tidak bisa disikapi dengan arif inilah yang membuat kita (ummat Islam) senantiasa menjadi komoditas politik kekuatan lain. Kita menyadari bagaimana terorisme menjadi dagangan yang laik jual dengan kasus-kasus pemboman, teror dan banyak lagi. Sejak Orde Baru, kita kerap distempel dengan cap komando jihad (komji), Eka (ekstrim kanan), AMIN (Angkatan Mujahidin Islam Nusantara), bahkan rakyatpun seringkali diatasnamakan hanya untuk kepentingan kuasa dan uang.


Mengamalkan atau Melecehkan Prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Al-Qur'an sangat menekankan sekali kewajiban amar ma'ruf nahi munkar (memerintahkan kebajikan dan melarang kemungkaran). Kesimpulan jelas yang dapat ditarik dari salah satu ayatnya adalah jika kita melecehkan atau mengingkari kewajiban besar ini, akan mengakibatkan kehancuran dan keruntuhan tatanan yang selama ini ada. Al Maidah ayat 79 menerangkan bahwa salah satu alasan Allah melaknat sebagian Bani Israil adalah karena mereka mengingkari kewajiban amar ma'ruf nahi munkar.


“Mereka saling tidak melarang tindakan munkar apapun yang mereka perbuat.”


Kita dapat dengan mudah menggolongkan apakah termasuk menunaikan kewajiban amar ma'ruf nahi munkar atau melecehkannya dalam kasus dibebaskannya para bankir bermasalah, diterimanya kasasi Akbar Tandjung, dipenjarakannya Ustadz Jafar Umar Thalib dan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, dan banyak lagi pelecehan-pelecehan atas nama hukum dilevel lokal maupun nasional.

Moral atau Amoralitas.

Nilai moral menjadi barometer kualitas suatu masyarakat. Moralitas menjadi garis pemisah antara yang benar dengan yang salah. Kenyataannya saat ini, kita tanpa tedeng aling-aling berani memperlihatkan perilaku amoral secara terbuka. Pergaulan bebas dipertontonkan tanpa rasa malu, pantat perempuan (maaf - pen) dipertontonkan atas nama seni, orang berjudi bebas tanpa takut apapun, minum-minuman keras ditenggak didepan umum, bangkitnya kepercayaan terhadap tahayul dan mistik (sihir), membunuh dengan mudah hanya karena hal-hal yang sepele, berbohong dan memanipulasi fakta atas nama rakyat dan bangsa, sensualitas dijual murah di koran dan tv. Mereka yang melakukannya begitu santai tanpa perasaan berdosa, justru yang melihatnya malah merasa malu. Sangat terbalik. Banyak yang telah menderita impotensi hingga tidak sanggup mencegah perjudian, kemaksiyatan dan perilaku-perilaku amoral lainnya.

****

Realitas diatas menunjukkan seberapa jauh kualitas kita sebagai pribadi maupun sebagai masyarakat. Ketika keserakahan, kebiadaban dan nafsu diumbar, kita semua merasakan akibatnya. Bencana alam, kebakaran hutan, kekeringan, wabah penyakit menjadi peringatan bagi kita untuk merombak semuanya hingga keadilan, persatuan, amar ma'ruf nahi munkar dan moralitas benar-benar menjelma secara paripurna. Jika tidak kunjung disadari, Allah akan menggantikan kita dengan kaum (masyarakat) lain yang lebih baik.

Tidak ada alasan untuk bersikap pasif, Al-Qur'an sangat menghargai orang atau komunitas yang bangkit menyerukan perubahan. Misalnya, Qs. Al- Qashash ayat 5, Allah menjanjikan orang-orang tertindas yang bangkit akan dijadikan pemimpin-pemimpin dan pewaris-pewaris yang sah dalam merombak tatanan yang rusak. Tetapi sebelum upaya tersebut dilakukan, perubahan mentalitas, sikap, cara berpfikir harus terlebih dahulu dilakukan. Kegagalan gerakan reformasi kiwari, karena mendahulukan perubahan sosial-politik daripada perubahan mentalitas. Akibatnya pasca 1998, bangsa ini jatuh kepada cengkeraman stelsel mental-mental lama yang sulit dilawan. Kita hanyalah Fir’aun yang berteriak seperti Musa dan Harun, atau Namrudz yang berbaju Ibrahim, karena meski tatanan sosial-politik telah berubah, mentalitas kita tidak ikut berubah.

Idza bi nafsik ! (mulailah dari dirimu sendiri). Seruan ini mungkin klasik, tetapi inilah titik awal perubahan semestinya. Hudzaifah al Yamani pernah ditanyai mengenai hati yang mati, beliau menjawab, “yaitu ketika seseorang tidak menolak kemungkaran dan tidak pula mengingkari dengan tangan, lisan maupun hatinya.” Wallahu A’lam.(Sukma Prihatin)

0 komentar: