Sabtu, 29 November 2008

Agar Dapat Melihat Surga

Seorang anak dengan gayanya yang lugu bertanya kepada ibunya, “Bu, apa itu cinta?”. Cinta adalah kemurnian jiwa, kesejukan bathin dari kenikmatan memberi dan kerelaan berkorban,” jawab sang ibu. “Karena itukah banyak orang mengagungkan cinta?” tanya sang anak lagi. Dengan sabar dan penuh cinta ibunya menerangkan, bahwa keagungan cinta hanya berada pada cinta Sang Agung, Si pencipta cinta itu sendiri. Dan jika ada yang mengagungkan cinta diatas segalanya, sebenarnya ia tidaklah tengah mengagungkan cinta melainkan perasaan dan nafsunya yang tengah bergumul sehingga meluap menjadi nafsu berbaju cinta. Padahal jika mau membuka tabir sebenarnya, tentu mereka akan sadar kalau tengah terombang-ambing oleh arah cinta yang salah. “ini wajar nak, karena kebanyakan manusia hanya sebatas menggunakan mata kepala dan mengabaikan mata bathinnya, sehingga ia lupa bahwa cinta bersemayam dan bergetar-getar dihati, bukan di kepala, apalagi dimata.

Cinta harus dilihat dengan mata bathin, dan kebanyakan manusia memandang cinta hanya berhenti di mata kepala, sehingga seringkali tidak mampu menangkap kemurnian jiwa, kesejukan bathin dari mencinta dan dicinta. Karena itu, mereka yang senantiasa mampu menggunakan mata bathinnya untuk melihat segala hal, ia akan melihat siapapun dan apapun dengan cinta. “Karena Allah pun teramat cinta kepada yang mempersembahkan cinta kepada-Nya”.

“Lalu kenapa ada orang yang saling membenci, bertengkar dan saling bermusuhan?” tanyanya lagi. Itulah kehebatan Allah. Dia ciptakan manusia dengan bentuk yang sempurna sehingga dengan kesempurnaan yang dimilikinya itu, manusia bisa menangkap kesan yang lain, tidak hanya cinta. Ada benci, marah, kecewa, senang, tertawa, sedih dan masih banyak lagi. Tak perlu takut, semua itu salah satu anugerah dari-Nya yang patut kita syukuri. Sudah menjadi fitrah manusia tidak menyukai sesuatu yang tidak disenanginya, artinya sesuatu hal yang tidak berkenan, tidak sesuai dengan hati nuraninya, adalah sangat manusiawi jika dibenci. Dan adalah fitrah manusia juga untuk kecewa jika sesuatu tak seperti harapannya, tak seindah mimpinya.

Masalahnya kemudian, bagaimana manusia mengkondisikan hatinya agar senantiasa condong kepada kebenaran, sehingga benci, marah dan kecewa serta sedihnya hanya kepada kebathilan, kesemena-menaan, kezhaliman, keserakahan dan bahkan kesombongan diri, juga dosa yang dilakukannya.

“Bagaimana dengan tersenyum dan tertawa?” Senyum dan tawa adalah sebuah refleksi, sama seperti benci, marah dan sedih. Hanya bedanya, biasanya senyum dan tawa adalah cermin dari keberhasilan, kemenangan dan prestasi seseorang akan sesuatu. Tak perlu merasa bersalah hanya karena tersenyum dan tertawa. Mungkin Allah menciptakan rasa itu untuk melatih manusia. “Bukankah semua hamba-Nya yang sholeh kelak akan tersenyum di hadapan Allah yang menghadirkan keagungan wajah-Nya?” jelas sang Ibu sambil mengusap kening anaknya yang serap-serap mulai terbuai ke alam tidurnya.

Lama ia dibuai cinta sang Ibu, dengan sentuhan lembut ibunya ia memainkan nyanyian dawai-dawai indah yang bergelung-gelung dialam mimpinya. Ia merasakan kehangatan hidup, keceriaan dunia. Mungkin karena usianya yang memang belum pantas merasakan kegetiran dan kepahitannya. Untuk sementara ibunya membiarkan mimpi anaknya tak terusik oleh kepayahan mencari sesuap nasi yang dijalaninya, juga hantaman kerikil di sepanjang jalan yang disusurinya. Terik dan hujan menjadi baluran tubuhnya sehari-hari, demi satu cita, tak kan membiarkan dimasa depan anaknya mengeluarkan keringat dan darah seperti yang dialaminya kini. Mungkin semua orangtua mempunyai mimpi yang sama. Hingga dengan demikian sang ibu semakin sadar bahwa hanya Tuhanlah yang selama ini menguatkan, mempertebal kesabaran serta menanamkan keyakinan dihatinya, bahwa esok matahari masih akan terbit.

Dan menjelang fajar, seusai kesejukan membasuh seluruh tubuh untuk kemudian bersimpuh dihadapan-Nya. Tak terasa air bening mengalir membasahi pipi, untaian kata pinta yang tak pernah berhenti, yang tak pernah berhias putus asa, yang tak diiringi penyesalan akan beban hidup yang saat ini diamanahkan kepadanya. Terkadang ada tangis yang begitu keras sekeras benturan kehidupan yang menerpanya, hingga tak sadar tangisannya itu menyentuh relung bathin anaknya sampai terbangun.

“Kenapa ibu menangis?” Menangis adalah satu anugerah Allah lainnya nak. Menangis adalah wujud dari kelemahan manusia yang jelas-jelas kekuatannya sangat terbatas. Menangis adalah pembuktian akan adanya Yang Maha Kuat yang memiliki kehendak diatas segala mau dan keinginan manusia. Tak perlu malu untuk menangis, karena dengan menangis kita tengah melunturkan kesombongan, kepekatan hati yang penuh noda hitam dari setiap detik hidup yang berlumur salah, juga menghilangkan penyakit-penyakit lainnya yang kerap hinggap di kalbu.

Menangis tidak mesti dengan air mata, meski biasanya selalu dengan itu. Air bening yang membasahi mata akan membasuh dosa yang berawal dari penglihatan manusia. Kemudian airnya turun menyejukkan wajah kita. Itulah cara Allah membersihkan wajah manusia yang coreng-moreng oleh kekhilafannya. Maka dengan menangis setiap hari, wajah menjadi bersih, hati pun sejuk kembali dan kebeningan mata yang sudah terhapuskan pekatnya, memberikan keindahan tersendiri. Semua itu, hanya agar manusia dapat melihat surga. Wallahu ‘a’lam bishshowaab (Shidiq IM-3)

Belajar Mencintai Seseorang Yg Tdk Sempurna Dgn Cara Yg Sempurna

Perasaan cinta, simpatik, tertarik, Datang bagai kesempatan pada kita. Tetapi cinta sejati yang abadi adalah pilihan. Pilihan yang kita lakukan. Berbicara tentang pasangan jiwa, Ada suatu kutipan dari film yang Mungkin sangat tepat : "Nasib membawa kita bersama, tetapi tetap bergantung pada kita bagaimana membuat semuanya berhasil" Pasangan jiwa bisa benar-benar ada. Dan bahkan sangat mungkin ada seseorang Yang diciptakan hanya untukmu. Tetapi tetap berpulang padamu Untuk melakukan pilihan apakah engkau ingin Melakukan sesuatu untuk mendapatkannya, atau tidak... Kita mungkin kebetulan bertemu pasangan jiwa kita, Tetapi mencintai dan tetap bersama pasangan jiwa kita, Adalah pilihan yang harus kita lakukan. Kita ada di dunia bukan untuk mencari seseorang yang sempurna untuk dicintai TETAPI untuk belajar mencintai orang yang tidak sempurna dengan cara yang sempurna

Wassalam

SEBAB JATUH BANGUNNYA SUATU BANGSA

Setiap agama biasanya membahas sebab-sebab kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat. Pandangan suatu agama mengenai faktor-faktor utama kemajuan dan kemunduran suatu komunitas, menunjukkan pendekatannya terhadap masyarakat dan gerakannya dalam memperbaharui tatanan tersebut.

Al-Qur’an memiliki beberapa pandangan, misalnya mengenai sebab menyelewengnya suatu bangsa sebagai akibat dari ketaatan terhadap abaa’uhum (bapak-bapak mereka), yang dapat dimaknai sebagai pemimpin, nenek moyang, pembesar-pembesar maupun tokoh-tokohnya. Kalangan elit sosial tersebut diklaim memproduksi ketimpangan, feodalisme, ketaatan buta, fanatisme dan kultus individu yang pada akhirnya menyelewengkan rakyat dari penghambaan hanya kepada Allah.

Namun, Al-Qur'an secara keseluruhan, menyebut masing-masing empat faktor yang mempengaruhi jatuh bangunnya suatu masyarakat. Secara singkat pada kesempatan ini akan dibahas masing-masing faktor tersebut.

Keadilan atau Kedzaliman.

“Sungguh, Fir’aun telah meninggikan dirinya di bumi dan menjadikan penduduk negerinya berkasta-kasta, dengan menindas satu golongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sungguh, ia termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Qs. Al-Qashash (28) : 4)

Ayat ini pada awalnya menggambarkan nafsu Fir’aun yang memperlakukan rakyatnya sebagai sapi perahan, bersikap diskriminatif dan otoriter. Al-Qur'an menyebutnya sebagai mufsid (pembuat kerusakan) dimaksudkan sebagai kutukan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya sebagai pemegang kekuasaan.

Meski Fir’aun telah ditenggelamkan di laut Merah, tidak berarti semangat dan perilaku firaunis lenyap begitu saja. Di Indonesia, meski secara formal Orde Baru telah dijatuhkan, kenyataannya bangsa ini masih dibawah cengkeraman manusia bermental firaunis. Kebijakan-kebijakan yang tidak berfihak pada rakyat, kenaikan harga BBM dan bahan pokok, bebasnya para konglomerat hitam, KKN yang semakin merajalela, diterimanya kasasi Akbar Tandjung, menunjukkan keadilan masih jauh dari jangkauan.

Perilaku firaunis menalar tidak saja pada tingkat elit politik, tetapi diderita pula oleh kita kalangan wong cilik. Disadari atau tidak, kita pun kerap bersikap firaunistik. Ketika supir berlaku seenaknya di jalan, tukang ojeg me-mark-up ongkos terhadap penumpang yang diyakini orang baru, pedagang di pasar yang memanipulasi timbangan, polisi yang menerima salam kepal dari sopir-sopir, birokrat yang mengutip uang administrasi, hakim yang hobi disuap, atau lainnya, membuktikan kedzaliman telah menjadi bahasa pergaulan sehari-hari masyarakat. Kita seringkali tidak proporsional ketika mengkritik habis elit politik yang korup, padahal saat yang sama kita menjiplak perilaku orang yang kita kritik. Kita pun menjelma menjadi Fir’aun di rumah, sekolah, kantor, masjid, pasar, hutan, laut, dan sebagainya.


Kedudukan hari ini ditentukan sejauhmana ia memiliki kekayaan dan kuasa. Ironisnya kita berbangga hati dengan semua itu.Seorang caleg berani menghabiskan uang puluhan juta demi nomor urut dan membeli ijazah palsu, pesakitan berani menyumpal mulut hakim agar kasusnya dimenangkan di pengadilan, kita pun biasa membayar puluhan juta agar dapat diterima jadi PNS, hutan digunduli atas nama pembangunan, laut dan sungai dicemari, sumber daya alam (emas, minyak dan lain-lain) dikuasai asing, hingga pesta pernikahan yang menghabiskan banyak uang untuk sewa gedung, dekorasi, pakaian, dan katering. Padahal masih banyak yang kesulitan secara ekonomi, tidak bisa makan, dan menganggur. Bukankah ini pun sebuah kedzaliman ?


Persatuan atau Perpecahan.

Surat Ali-Imran ayat 103, memberikan suatu perintah jelas untuk bersatu di atas dasar aqidah, serta melarang perpecahan. Dalam ayat berikutnya (Qs. 3 : 105), kita diminta untuk tidak meniru perilaku para pendahulu (kaum Yahudi dan Nasrani) yang saling berselisih dan berpecah-belah dengan diakhiri peringatan adzab jika tidak mengindahkannya.


Saat ini, persaingan antar kelompok kepentingan begitu kentara, parpol, organisasi, tokoh, bahkan jama’ah-jama’ah saling klaim dan memonopoli kebenaran. Menuduh yang di luar kelompoknya sebagai a-reformis, status quo, kafir, bid’ah atau sesat. Budaya buruk sangka lebih berkembang daripada dialog dan toleransi. Akibatnya intrik, saling sikut mewarnai perkembangan masing-masing kelompok untuk memenangkan ambisinya.


Friksi antar kelompok ini harus segera dituntaskan. Sebelum kekuatan semakin melemah dan permusuhan kian menguat. Kehendak untuk berdialog, taffahum dan membangun sinergi seyogyianya lebih dikedepankan daripada menuduh kesana kemari. Sekian generasi dan waktu, energi kita dihabiskan hanya untuk mensesatkan orang atau kelompok yang berbeda pemikiran dan garis politiknya dengan kita. Jelas hal ini sebuah kesia-siaan.

“....janganlah kamu saling berselisih, sebab kamu akan menjadi lemah dan kehilangan kekuatan...” (Qs. Al-Anfaal : 46)

Perbedaan yang tidak bisa disikapi dengan arif inilah yang membuat kita (ummat Islam) senantiasa menjadi komoditas politik kekuatan lain. Kita menyadari bagaimana terorisme menjadi dagangan yang laik jual dengan kasus-kasus pemboman, teror dan banyak lagi. Sejak Orde Baru, kita kerap distempel dengan cap komando jihad (komji), Eka (ekstrim kanan), AMIN (Angkatan Mujahidin Islam Nusantara), bahkan rakyatpun seringkali diatasnamakan hanya untuk kepentingan kuasa dan uang.


Mengamalkan atau Melecehkan Prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Al-Qur'an sangat menekankan sekali kewajiban amar ma'ruf nahi munkar (memerintahkan kebajikan dan melarang kemungkaran). Kesimpulan jelas yang dapat ditarik dari salah satu ayatnya adalah jika kita melecehkan atau mengingkari kewajiban besar ini, akan mengakibatkan kehancuran dan keruntuhan tatanan yang selama ini ada. Al Maidah ayat 79 menerangkan bahwa salah satu alasan Allah melaknat sebagian Bani Israil adalah karena mereka mengingkari kewajiban amar ma'ruf nahi munkar.


“Mereka saling tidak melarang tindakan munkar apapun yang mereka perbuat.”


Kita dapat dengan mudah menggolongkan apakah termasuk menunaikan kewajiban amar ma'ruf nahi munkar atau melecehkannya dalam kasus dibebaskannya para bankir bermasalah, diterimanya kasasi Akbar Tandjung, dipenjarakannya Ustadz Jafar Umar Thalib dan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, dan banyak lagi pelecehan-pelecehan atas nama hukum dilevel lokal maupun nasional.

Moral atau Amoralitas.

Nilai moral menjadi barometer kualitas suatu masyarakat. Moralitas menjadi garis pemisah antara yang benar dengan yang salah. Kenyataannya saat ini, kita tanpa tedeng aling-aling berani memperlihatkan perilaku amoral secara terbuka. Pergaulan bebas dipertontonkan tanpa rasa malu, pantat perempuan (maaf - pen) dipertontonkan atas nama seni, orang berjudi bebas tanpa takut apapun, minum-minuman keras ditenggak didepan umum, bangkitnya kepercayaan terhadap tahayul dan mistik (sihir), membunuh dengan mudah hanya karena hal-hal yang sepele, berbohong dan memanipulasi fakta atas nama rakyat dan bangsa, sensualitas dijual murah di koran dan tv. Mereka yang melakukannya begitu santai tanpa perasaan berdosa, justru yang melihatnya malah merasa malu. Sangat terbalik. Banyak yang telah menderita impotensi hingga tidak sanggup mencegah perjudian, kemaksiyatan dan perilaku-perilaku amoral lainnya.

****

Realitas diatas menunjukkan seberapa jauh kualitas kita sebagai pribadi maupun sebagai masyarakat. Ketika keserakahan, kebiadaban dan nafsu diumbar, kita semua merasakan akibatnya. Bencana alam, kebakaran hutan, kekeringan, wabah penyakit menjadi peringatan bagi kita untuk merombak semuanya hingga keadilan, persatuan, amar ma'ruf nahi munkar dan moralitas benar-benar menjelma secara paripurna. Jika tidak kunjung disadari, Allah akan menggantikan kita dengan kaum (masyarakat) lain yang lebih baik.

Tidak ada alasan untuk bersikap pasif, Al-Qur'an sangat menghargai orang atau komunitas yang bangkit menyerukan perubahan. Misalnya, Qs. Al- Qashash ayat 5, Allah menjanjikan orang-orang tertindas yang bangkit akan dijadikan pemimpin-pemimpin dan pewaris-pewaris yang sah dalam merombak tatanan yang rusak. Tetapi sebelum upaya tersebut dilakukan, perubahan mentalitas, sikap, cara berpfikir harus terlebih dahulu dilakukan. Kegagalan gerakan reformasi kiwari, karena mendahulukan perubahan sosial-politik daripada perubahan mentalitas. Akibatnya pasca 1998, bangsa ini jatuh kepada cengkeraman stelsel mental-mental lama yang sulit dilawan. Kita hanyalah Fir’aun yang berteriak seperti Musa dan Harun, atau Namrudz yang berbaju Ibrahim, karena meski tatanan sosial-politik telah berubah, mentalitas kita tidak ikut berubah.

Idza bi nafsik ! (mulailah dari dirimu sendiri). Seruan ini mungkin klasik, tetapi inilah titik awal perubahan semestinya. Hudzaifah al Yamani pernah ditanyai mengenai hati yang mati, beliau menjawab, “yaitu ketika seseorang tidak menolak kemungkaran dan tidak pula mengingkari dengan tangan, lisan maupun hatinya.” Wallahu A’lam.(Sukma Prihatin)

TUJUH LAPIS LANGIT DAN TUJUH LAPIS BUMI DALAM MENUJU ALLAH

Perjuangan menuju Allah adalah perjuangan maha dahsyat yang hanya mungkin dilakukan oleh pejuang-pejuang tangguh yang tak kenal menyerah. Dikatakan perjuangan maha dahsyat karena Allah bukanlah Tuhan statis yang membiarkan diri-Nya mudah ditemukan. Allah senantiasa membentangkan hijab berlapis-lapis dan berbagai halangan untuk menyelubungi keberadaan diri-Nya. Sekalipun para pencari-Nya mengetahui bahwa Dia adalah Inti dari segala sesuatu dari ciptaan-Nya, baik yang dapat ditangkap pancaindera maupun yang ghaib, untuk menemukan-Nya bukanlah persoalan sederhana.

Hijab-hijab tersebut sebagai ujian dan seleksi hamba-hamba-Nya, sehingga Dia yakin bahwa hanya yang berkualitaslah yang mampu mencapai-Nya. Hamba yang punya stamina tinggi dalam jihad, ibadah dan mua’amalah yang akan mampu menggapai Dia. Insya Allah.

Secara metaforik, hijab-hijab ruhani dalam mencapai Dia dapat diungkapkan seperti berikut : tujuh samudera, tujuh gunung, tujuh lembah, tujuh jurang, tujuh gurun, tujuh rimba, dan tujuh benteng. Sekalipun terdengar begitu sulit dan secara akal sulit dilampaui manusia, ungkapan itu lebih ditujukan pada gambaran suasana ruhaniah manusia, sehingga ungkapan itu tidak perlu sulit untuk dimaknai dan diresapi esensinya. Namun, tidak semua orang berani menanggung akibat dari usaha melintasi tujuh hijab tersebut.

Hijab pertama atau tantangan pertama adalah Tujuh Lembah Kasal (Kemalasan) yang berhawa sejuk, ditumbuhi rumput hijau, taman-taman bunga, pohon kemenyan dan gaharu yang menebar wangi, sungai, danau, dan burung aneka warna yang merdu bernyanyi. Di lembah ini, para pencari lebih suka menenggelamkan diri dalam kemalasan naluri manusiawinya daripada bersusah-susah beribadah kepada-Nya.

Tantangan kedua yang tak kalah dahsyat adalah Tujuh Jurang Futur yang menganga siap menelan siapa saja yang jatuh ke dalamnya. Siapa pun yang melihat ke dasar jurang tanpa dasar itu lazimnya akan menjadi lemah pendirian dan runtuh tekadnya untuk meneruskan perjalanan. Bagi para pencari yang masih kuat terpengaruh kehidupan duniawi, Tujuh Jurang Futur itu sangatlah menakutkan sehingga mereka lebih suka tidak melanjutkan perjalanan daripada melintasinya dengan risiko tak pernah kembali. Kebimbangan selalu mencekam siapa saja yang mencari-Nya ketika harus melewati tujuh jurang ini.

Ketiga yang juga tak kalah dahsyat dan butuh perjuangan khusus, adalah Tujuh Gurun Malal (Kejenuhan), berupa hamparan pasir dan bebatuan yang membosankan. Di tengah perjalanan, para pencari sering dirayapi rasa bosan. Mereka enggan melanjutkan perjalanan, padahal tujuannya masih jauh. Tidak sedikit yang kemudian menggerutu, “Saya sudah berjalan sangat jauh dan mengulang-mengulang ibadah yang itu-itu juga, namun tujuan saya tetap belum tercapai.”

Tantangan keempat berupa Tujuh Gunung Riya’ yang sering menggelincirkan para pencari yang berusaha mendakinya. Para pencari yang mendaki Tujuh Gunung Riya’ dengan puncaknya yang tinggi dan selalu diselimuti awan itu cenderung memamerkan kemampuan mereka. Diatas puncak Gunung Riya’, para pencari lupa pada apa yang mereka cari. Mereka terjebak pada kebanggaan dan memamerkan kemampuan. Kehebatan,kegagahan, kebaranian dan kesalehan diri sendiri. Bahkan tak kurang banyak yang terperangkap pada pamrih sehingga tujuan mereka tidak lagi menuju Allah, tetapi ke syurga “yang lain dari Allah”.

Tantangan kelima adalah Tujuh Rimba Sum’ah yang berisi raungan serigala, auman harimau, kicauan burung, lenguh banteng, dan bunyi bambu yang berderak ditiup angin. Di rimba ini, para pencari sering meniru perilaku hewan yang gemar memperdengarkan suaranya. Para pencari suka menceritakan berbagai amaliah ibadah yang mereka lakukan, dengan tujuan orang menyanjung dan memuji mereka. Bahkan sering terjadi, para pencari benar-benar terperangkap pada suasana rimba raya sehingga mereka menjelma menjadi hewan yang suka mengaum, melenguh, melolong, dan berkicau untuk memamerkan kehebatan dirinya.

Tantangan keenam yang sulit diseberangi adalah Tujuh Samudera ‘Ujub yang bergelombang dahsyat dengan ombak bergemuruh menerpa pantai dan batu karang. Di samudera ini, para pencari gampang terpengaruh oleh keberadaan samudera yang bangga akan kedahsyatan ombaknya yang kuat dan tinggi mencakar langit. Di dalam hati mereka muncul kebanggan dan puja-puji terhadap diri sendiri karena merasa amalnya telah banyak. Mereka tak pernah menduga bahwa saat rasa bangga diri bagai samudera itu mencuat maka yang terjadi adalah makna perjuangan ibadah mereka hilang, ibarat buih ombak di hamparan pasir pantai.

Tantangan ketujuh yang sulit ditaklukan adalah Tujuh Benteng Hajbun yang berdinding tinggi dengan tembok kokoh dihiasi ukiran-ukiran dan hiasan-hiasan indah. Benteng-benteng itu dihuni oleh warga yang hidup dalam kemakmuran dan kelimpahan rezeki. Para pencari yang melintasi ketujuh benteng ini biasanya terpesona dengan keindahan arsitektur dan kemakmuran para penghuninya. Para pencari yang terpesona ini jarang terjebak mengaku bahwa benteng-benteng itu adalah miliknya dan merekalah yang membangunnya.

Para pencari yang demikian tak menyadari bahwa saat mereka mengakui keindahan amaliah ibadahnya maka saat itu pula benteng-benteng itu menjadi pasir yang luruh tertiup angin.


Dikutip dari Suluk Abdul Jalil

Perjalanan Ruhani Syeikh Siti Jenar