Selasa, 23 Desember 2008

PERANG MASYARAKAT NGESEKS

Dr. Sindhunata

Juni 2002, Presiden Amerika George W. Bush berpidato di depan para kadet Akademi Militer di Westpoint. Katanya, "Amerika tak bertujuan untuk membangun suatu imperium atau mewujudkan suatu utopia." Tak hanya pada kesempatan itu, tapi pada kesempatan lain pun Bush menekankan berulang-ulang, dunia tak usah khawatir akan adanya imperialisme Amerika. Menyimak sejarah Amerika, dunia boleh khawatir, bahwa omongan Bush itu tak bisa dipegang. Ambil saja contoh perang Amerika lawan Spanyol tahun 1898.

Pada waktu itu terjadi pemberontakan bangsa Kuba terhadap kekuasaan kolonial Spanyol. Amerika melihat, kerusuhan di kepulauan penghasil gula itu bisa membahayakan investasinya. Amerika makin merasa harus menginvasi Kuba, karena di sana terjadi kekejaman dan pelanggaran hak asasi yang dilakukan oleh penguasa kolonial Spanyol. Keinginan itu makin dipicu dengan peristiwa ini: Februari 1898 kapal perang U.S.S. Maine meledak di pelabuhan Havana, mengakibatkan kematian 226 prajurit Amerika. Tuduhan segera meluas: ledakan itu adalah aksi teror dari pihak Spanyol. Baru pada tahun 1967 terbongkar, bahwa tuduhan itu keliru. Yang benar, kapal perang itu meledak hanya karena kecelakaan.

The splendid little war, perang kecil dan indah, demikian Menteri Luar Negeri John Hay menamai perang itu. Ternyata perang berlangsung tiga bulan, diakhiri dengan kekalahan total di pihak Spanyol. Karena kekalahan itu Spanyol akhirnya juga kehilangan kekuasaannya di wilayah Karibik, bahkan juga di daerah Asia Tenggara. Kongres Amerika menekankan, Amerika tak sedikit pun berambisi untuk mencaplok wilayah yang ditaklukkan. Toh, pemerintahan Mc Kinley tak bisa menahan godaan. Akhirnya Amerika mengklaim kedaulatan atas Puerto Rico, Guam dan Filipina. Dalam waktu dekat di Filipina, pecahlah perlawanan rakyat untuk memperjuangkan kemerdekaan. Dan Amerika pun harus menghadapi perang gerilya yang berlangsung lama dan brutal.

Bayangkan, perang yang begitu brutal semula hanyalah dinamai sebagai the splendid little war. Dari mana datangnya ide, bahwa perang yang begitu kejam dan makan banyak korban, hanya dianggap seakan permainan yang indah dan menyenangkan? Hal ini kiranya tidak cukup diterangkan hanya dari alasan politik, bisnis atau militer. Adakah faktor kebudayaan yang mempengaruhi ide pendangkalan perang yang kejam menjadi bagaikan perang-perangan yang menyenangkan? Mungkin faktor itu ada, sekurang-kurangnya jika orang mengamati hal tersebut dalam dunia perfilman Amerika.

Mengamati pemutaran film-film Holywood dalam festival Berlin belum lama ini, Katja Nicodemus, kritikus film Jerman, membuat komentar demikian: Film-film Holywood membawa ke layar pribadi-pribadi yang merasa dirinya tidak safe, dan tak yakin untuk tampil sebagai person yang integral. Pribadi-pribadi itu diliputi dengan keraguan dan kekhawatiran diri. Dalam film-film itu kita juga melihat suasana gembira dan jenaka, yang diciptakan oleh dunia show-business, namun di lain pihak juga suasana ketakutan, jangan-jangan orang tenggelam karena ilusinya.

Di sana juga tampak suasana bebas tanpa ketakutan dan keraguan apa pun, seperti diciptakan oleh dunia entertainment, namun di lain pihak juga teraba suasana di mana orang merasa bersalah, skrupel karena membohongi diri.

Film-film Holywood sesungguhnya adalah cerita tentang materialisasi kerinduan-kerinduan orang Amerika di satu pihak, tapi juga cerita tentang kerinduan mereka setelah meneka merasa tertipu oleh kerinduan-kerinduan tadi. Seperti tampak di dalam film, orang-orang Amerika itu merindukan situasi tanpa dosa sebelum manusia berdosa di Taman Firdaus, namun pada saat yang sama juga menganggap itu semua sebagai impian sia-sia belaka. Film Amerika sesungguhnya adalah melankoli dari emosi. Di saat film seakan menjadi medan perang, di mana cinta, kebencian, action dan kekerasan, pendeknya apa yang berkait dengan emosi, tumplek blek menjadi satu.

Materialisasi dari emosi tersebut dapat dilihat dengan amat konkret, misalnya dalam gaya dan action dari serdadu-serdadu Amerika yang tergabung dalam Special Operation Group di bawah CIA. Mereka ini beraksi dengan gaya rambo. Postur tubuh, keberanian, petulangan, taktik dan action-nya yang dingin seakan jiplakan dari permainan aktor berotot, Sylvester Stallone. Tahun delapan puluhan Stallone sendiri memang pernah membintangi Special Ops, yang melayarkan kehebatan pajuang rambo.

Perlu dicatat, termasuk ke dalam emosi itu adalah seks. Dalam menyhadapi seks pun, orang-orang Amerika belum bisa bebas dari kemenduaannya. Di satu pihak, mereka dikenal sangat liberal. Di sini tak ada yang menyangkal, bahwa masyarakat Amerika dikenal sebagai masyarakat yang ngeseks dan Amerika adalah tanah air bagi kebebasan seks. Namun di lain pihak, mereka juga sangat puritan dan konservatif, lihat saja misalnya dalam affair Clinton-Lewinsky.

Sudah bukan teori lagi, bahwa seks itu dekat dengan kekerasan. Bagi masyarakat yang selalu mendua dalam bersikap terhadap seks, seks bisa tertindas sebagai sekam agresi, yang sewaktu-waktu bisa membara menjadi kekerasan, perkosaan, bahkan perang.

Menarik dalam hal ini penemuan kontroversial dua ilmuwan biologi Amerika, Randy Thornhill dan Craig Palmer. Buku mereka A natural history of rape, menceritakan tentang persetubuhan di dunia serangga terbang. Serangga betina yang birahi ternyata menyerah begitu saja untuk dikawini, bila ia berhadapan dengan serangga jantan yang "mampu", yang bisa menghadiahinya dengan banyak makanan, seperti daging uir-uir atau cairan tudahnya. Sementara terhadap serangga jantan yang kurang "mampu", si betina itu tidak mau menyerah begitu saja. Terpaksa serangga jantan yang "miskin" ini memaksa (atau dalam bahasa seksual: "memperkosa") serangga betina, sampai ia mau dikawini. Thronhill dan Palmer menerapkan hal ini pada manusia. Dan di sanalah teorinya menjadi kontroversi hebat.

Di atas sudah diperlihatkan, bahwa pribadi orang Amerika itu dekat dengan kebingungan, kemenduaan, perasaan bersalah dan keminderan. Pribadi itu ibarat serangga jantan yang "miskin" dan minder. Jika benar, agresi, perkosaan dan kekerasan bahkan perang itu adalah akibat dari "keminderan", maka jangan-jangan agresi ke Irak ini adalah bukti, bahwa Amerika sebenarnya tak sanggup menjadi bangsa yang adi daya. Di balik kedigdayaannya tersembunyi ketidakmampuannya untuk mengatasi keraguan, kebingungan dan kegelisahannya sendiri. Agresi ke Irak adalah tanda bahwa mereka itu bangsa yang sakit secara psikologis.

Penulis adalah Pemimpin Redaksi Basis

0 komentar: