Oleh Ahmad Sofyan
Tidak terasa ternyata kita kembali menemui salah satu momentum besar dalam tradisi relijius Islam, bernilai besar tidak saja secara ritual yang melibatkan banyak pelaku dalam saat yang sama, tetapi juga besar secara sosio-historis, dan yang lebih penting, secara ruhiyah.
Tradisi yang kemudian kita kenal sebagai Hari Raya Qurban (Idul Adha), secara kolektif mampu mendorong setiap muslim untuk berlomba beramal dengan mengkurbankan hewan hasil dari shodaqoh, baik berupa sapi maupun kambing. Tidak ketinggalan kaum papa pun berlomba mendapatkan karunia – rezki lebih, dari setiap kerat daging yang menjadi hak mereka.
Fenomena diatas menunjukkan, tradisi Qurban tidak hanya secara elitis dimiliki oleh kaum aghnia (kaya), tetapi sangat terbuka ruang, yang memang diperuntukkan bagi kaum papa untuk terlibat. Nyatalah, secara esensial target utama dari Qurban adalah lapisan sosial ekonomi lemah.
Maka terdapat beberapa makna atau nilai yang dapat diambil dari fenomena ini, yaitu pertama, ibadah Qurban merupakan manifestasi ruhiyah untuk senantiasa menyerahkan segala kepemilikan bendawi khususnya, hanya kepada Allah yang diwujudkan dengan mengkurbankan hewan. Setiap hamba dituntut untuk mengambil posisi vis a vis dengan ikatan bendawi, meski hal itu merupakan bagian dari nikmat yang lumrah dimanfaatkan. Kedua, qurban merupakan sebuah simulasi lapangan dalam mengejawantahkan keseimbangan kosmologis, yang tiada ketimpangan, stratifikasi dan ketidakadilan struktural sehingga memarjinalkan kalangan the have not (tak berpunya).
Pesan ruhiyah dan sosiologis terintegrasi dalam ibadah Qurban, bahwa sesuatu yang ritualistik pada saat yang sama sangat empiris, personal sekaligus sosial, abstrak juga kontekstual. Permasalahannya sekarang, sekian lama momentum Qurban kita jalani, apakah kedua esensi tersebut teraktualisasi ?
Penalaran Essensi Qurban.
Qurban secara bahasa berasal dari kata qaraba yang berarti dekat atau mendekat. Setiap pelaku qurban bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah sebagai The Real Existence (Wajibul Wujud) dengan menyembelih seekor hewan sebagai simbol kepasrahan dan pelepasan dari ikatan bendawi. Mengapa kita harus mendekat kepada Allah dan menanggalkan segala keterikatan bendawi yang secara kasat mata sangat indah itu ?
Berawal dari nilai dasar Islam, yaitu Tauhid (Laa Ilaah Illallaah), bahwa peta kosmologis secara materi dan immateri memiliki sentrum tunggal. Sentrum ini berupa aksis (poros) yang mana semua materi dan immateri berasal dari poros tersebut, dan terikat secara mutlak padanya. Sentrum ini merupakan awal dan akhir dari segala kejadian. Maka kesejatian, kemutlakan, keajegan, kedaulatan ada pada poros ini, karena Ia tidak terikat oleh dimensi dan konvensi-konvensi yang kita kenal (ruang dan waktu) sehingga sifat universalitas, kemenyeluruhan dan keutuhan adalah watak sejati-Nya. Diluar itu, merupakan lawan dari semua sifat yang dimiliki kutub tersebut, yaitu kefanaan, keabsurd-an,relativitas dan ketidakberdayaan. Karena kelemahan-kelemahan ini, ia menjadi sangat bergantung kepada yang Mutlak, Ajeg dan Sejati sebagai satu-satunya mata air kekuatan dan kemulyaannya.
Konsekuensinya, tumbuhlah rasa taslim (kepasrahan total), al-hubb (mencinta), dan tergantung total hanya kepada Dzat yang Mutlak tersebut, karena ketika wujud yang faqir itu sedikit saja melepaskan keterikatannya pada yang Mutlak ia akan menderita disharmonisasi dan disintegrasi secara massif.
Dalam konteks Ibrahim a.s, beliau pernah mencoba untuk menanggalkan kebergantungannya kepada yang Maha Mutlak, dengan memilih keterikatan bendawi dengan menetapkan matahari, dan bulan sebagai pusat orientasinya. Dan akhirnya beliau pun menyadari bahwa satu-satunya pusat orientasi (kiblat) dan penyerahan diri hanyalah yang Maha Mutlak tersebut.
“Aku orientasikan segenap aspek jasadi dan ruhaniku, hanya pada yang menjadikan Langit dan Bumi, dan Aku termasuk golongan yang menyerahkan diri “.
Ketika keyakinan telah terbentuk, akan maujud sebuah pandangan dunia yang menjadi karakter, sikap dan perilaku Ibrahim, dengan kata lain ia tidak hanya berhenti pada peta kognitif, tetapi juga sekaligus membuka jalan bagi dilakukannya aksi dalam mengaktualkan idealitas tersebut. Di titik ini, Ibrahim berhasil membentuk Pandangan Dunia sebagai madhab pemikiran (ideologi) dan metode aksi (falsafah pergerakan).
Fase pertama yang dilalui adalah pemurnian dan pembentukan idelogi sebagai basis keyakinan yang menjadi alat ukur dan titik awal pergerakan-pergerakan selanjutnya. Basis ideologis ini membutuhkan pembajaan yang tiada henti, agar senantiasa terpelihara Kiblat (pusat orientasi) sebersih-bersihnya.
Apa yang kemudian dialami oleh Ibrahim, mulai dari dialektikanya dengan matahari dan bulan, diusirnya Ibrahim oleh Azar ayahandanya, perobohan patung-patung, pembakaran, hijrah ke Mekkah dan penyembelihan Isma’il merupakan sebuah proses panjang dalam peningkatan kualitas ideologi yang bersemayam di akal dan hatinya. Khusus berkenaan dengan peristiwa terakhir (penyembelihan Isma’il), merupakan peristiwa yang sangat dramatis dan fenomenal sehingga diabadikan sebagai momentum ibadah Qurban.
Pembajaan dan pembersihan ideologi dimaksudkan agar tidak ada tandingan-tandingan (andaad) dalam kepasrahan, ketaatan dan kecintaan Ibrahim yang dapat mempengaruhi kelurusan aksi-aksi yang dilakukan dalam pembumian ideologi Tauhid tersebut. Penyembelihan Ismail pun sebagai salah satu wujud training Ilahiyah dalam mensucikan Ibrahim dari semua anasir-anasir yang dapat menandingi Allah sebagai kiblatnya.
Ismail dapat menjadi tandingan dalam ketundukan, kecintaan dan ketaatan karenanya ia perlu dikurbankan,agar ideologi dan metode aksi Ibrahim dapat selamat sehingga layak untuk menjadi prototipe pelanjut-pelanjutnya dikemudian hari.
Koreksi intern sebagai awal bagi hadirnya pergerakan risalah, menjadi mutlak dan tidak bisa diabaikan. Setiap hal, baik itu sesuatu maupun seseorang yang berpotensial menjadi ‘ismail’ (baca : penghalang) antara kita dan Allah, wajib didekonstruksi. Apa pun, apakah itu benda, personal, bahkan sistem/struktur pun harus kita ‘qurbankan’.
Sebagai contoh, seorang pejabat harus mendekontruksi kekuasaannya, ketika kekuasaannya menjadi penyebab dirinya berlaku dzalim, seorang pengusaha mengkurbankan usahanya, seorang suami mengkurbankan istri, ulama mengkurbankan madhabnya dan argumennya, ibu mengkurbankan anaknya, begitu seterusnya.
Pembentukan pandangan dunia (vision de monde) ini berimplikasi pada pembentukan keyakinan moral dan ideal tentang tata sosial yang harus terbentuk. Pranata sosial dipandang sebagai bagian dari wujud pengorientasian secara kolektif terhadap Kiblat yang mutlak, yaitu Allah. Hadirnya pranata sosial yang berorientasi secara lurus, memudahkan dan mengkatalis pengorientasian diri kepada Wajibul Wujud, sehingga ia pun turut menjadi instrumen vital. Kehendak luhur ini dapat dilihat dari dibagi-bagikannya daging qurban kepada mereka yang berhak, sebagai artikulasi abstraksi pandangan dunia Tauhid kehamparan realitas sosial secara konkret.
Bahkan lebih jauh lagi, ibadah qurban pun bermakna sebagai protes sosial terhadap sistem, struktur dan hirarki sosial yang timpang sehingga menjadi ‘ismail’ secara kolektif. Jadi ibadah Qurban tidak saja akan berimplikasi pada wilayah personal, tapi menyebar dan melebarkan sayapnya pada sistem dan struktur yang mapan. Laksana sebuah virus yang akan menggerogoti fondasi sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang korup, ia baru akan berhenti ketika Allah benar-benar menjadi pusat orientasi sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Dari sudut pandang ini, sangat wajar jika bagi pendukung kemapanan, momentum ibadah Qurban laksana terowongan bawah tanah, tempat bersarangnya para pemberontak yang akan menggangsir pusat kekuasaan dari bawah. Ibadah Qurban dipandang membahayakan karena dapat menumbuhkan semangat perlawanan, solidaritas, dan sentimen anti status quo. Terbukti, sekitar abad ke-19, pemerintah Hindia Belanda melarang praktek Qurban dan ibadah Haji di Nusantara dengan regulasi yang tersurat dalam doktrin “Islam Politieke”.
Dan sekarang ini, ketika rata-rata dari kita ramai-ramai merayakan Qurban dengan sekerat daging – praktik yang seringkali sangat mekanistik, semoga saja kita tidak lupa bahwa kita pun dituntut untuk mengkurbankan ego, istri, suami, kekuasaan politk, kekayaan, status sosial, organisasi, fanatisme golongan/madhab, bahkan bila perlu Presiden pun dapat kita qurbankan.
Prinsip pembebasan (pribadi dan kolektif), keadilan, dan persamaan derajat, merupakan deretan nilai-nilai etis-moral yang mendasari hadirnya Qurban ke hadapan kita.
Dalam perspektif Qurban, teranglah bahwa Islam, hadir tidak dengan semangat mengabsahkan realitas, tetapi untuk merubahnya. Qurban hari ini akan menentukan realitas dan peta masyarakat selanjutnya dalam ranah spiritual, ideologis, politik, sosial, budaya dan ekonomi. Produk dari berqurban-nya Ibrahim adalah negeri Mekkah, organisasi aplikatif yang dilegitimasi sebagai Baladal Amin. Maka apakah out put dari qurban kita ?. Berkurban yu …..!.
Wallahu A’lam